Anda mungkin sering mendengar “hemat pangkal kaya“. Inilah kata mutiara yang selalu kudengar sejak duduk di bangku sekolah dasar. Dan hingga sekarangpun penggalan kalimat ini terus bergaung. Hari berganti hari, tahunpun hendak berganti tahun, keyakinanku akan kata ini belum terbantahkan, hehe. Namun, setelah membaca sebuah tulisan di kaskus, sungguh pikiranku berubah 180% akan kalimat ini.
Kok, bisa? Ternyata semboyan ini tidak selamanya benar. Sama halnya dengan kalimat “ada gula ada semut“, padahal tiada gula-pun tetap ada semut. Permainan kata, hehe. Kembali ke judul, alasan kenapa kalimat ini tidak sepenuhnya benar, hal ini didukung dengan hasil (pseudo – penelitian) lapangan oleh para pebisnis. Bayangkan aja, jika seorang pengusaha berusaha sehemat mungkin hingga takut untuk berinvestasi pada bisnisnya. Alangkah naifnya jika dia berpikiran “mendingan uang saya ditabung aja”. Memang berinvestasi selalu mengandung resiko, tapi ingat “pelaut yang hebat lahir dari ombak yang besar pula”.
Penggalan dongeng di atas, berlaku sama persis dengan sistem kesehatan di Indonesia. Entah karena pemerintah berpikir bahwa “anggaran kesehatan hemat aja yah”, makanya posisi alokasi kesehatan hanya berkisar pada angka 2, jauh bedanya dengan sektor pendidikan yang 20 digit. Pada lupa yah, “otak yang sehat akan melahirkan pribadi yang berkualitas“, apaguna anak-anak bangsa disekolah sedangkan mereka sakit-sakitan, otak kempes, sia-sia aja khan. Pembentukan sel otak yang harusnya dipasok sejak kecil menjadi hal sepeleh bagi pemerintah yang menganggap sepeleh masalah ini.
Aku malu ketika…. anggaran kesehatan tiap orang per tahunnya = 1 biji roti…
Salam sehat
Leave a Reply